GW MO KHILAFAH, LO MO APA ?! Hare Gene Demokrasi? Gile aja lo bro !! Demokrasi ? nggak deh ..!! Demokrasi= basi !! tau galo ?? Demokrasi itu belenggu, kawan Cuma dua solusi : Syariah dan Khilafah. Yoi Ga Choy !!?

Sabtu, 23 Juli 2011

Suara Anak Jalanan

Musim mengganti dedaunan dengan bisik-bisik di jalanan

dengan peluh yang berjatuhan dari tisik baju anak-anak

pengamen yang membawa tembang lapar dan dahaga

dan mengenggam receh koin tak berarti buat sebagian orang

buat sebagian jendela yang menyala di gedung tinggi menggapai

semu di angkasa tanpa dapat menengok kaki-kakinya menyimpan

jelaga untuk sebongkah mimpi bagi mereka yang tak mengenal

esok hari secerah apa secantik apa dan sesudahnya membungkam

tiap jeritan kelahiran bayi-bayi hingga mengisap debu dari susu ibunya.

.

Langit membelah malam menyisa suara di bantal-bantal bulu angsa

para sang punya benda-benda dan sang kuasa akan tanah negrinya akan

gunung dan pantai hingga ikan-ikan dan pasirnya hinggap di mulut

dongeng yang berceceran di jalan-jalan tempat suara itu berasal

tempat hujan mengigilkan tubuh mereka tempat panas membakar

hati mereka menjadi manusia tak mempunyai arti dan diri yang berharga

lalu hilang dari hitungan nada lagu kebangsaan hilang dari rapat-rapat

yang membingungkan dan hilang dari catatan gemah ripah yang pernah

membuat merah putih kebyar dari barat sampai ke timur laut nelayan.

Granito Ibrahim
Read more >>

Gadis Desa yang Tersisip

Arus urbanisasi yang kemudian meluas dalam globalisasi mengucurkan air liur para gadis desa. Melihat teman-teman sebaya yang mudik dengan kulit bersih bebas daki plus dandanan seksi aneka rupa benar-benar bikin hati mulai tergiur. Terbersitlah dengus di dada seorang gadis, “Aku mau seperti mereka!” Tekad baja untuk segera meninggalkan kampung halaman mencuat sedemikian kuat.

Untung pun dapat diraihnya. Hidup baru di tempat baru menggelinding cepat. Dengan sedikit polesan saja, tampang, body, dan gemulainya bikin berkedut mata yang memandang. Tak butuh waktu lama, dompetnya sudah penuh barang baru: kartu tabungan. Dunia terasa indah dirasa. Matanya nanar dalam kesukaan. Sesekali setumpuk uang dikirim untuk ibunya yang sedirian di desa.

Di tengah terang benderang di siang bolong, tiba-tiba petir menyisir hati menjadi getir. Tak tahu mengapa, perasaan itu menusuk sampai di ulu hati. Meski sekian banyak pencapaian dinikmati, tetapi sanubari tak mati. Ada residu yang mengguratkan jeritan untuk menghentikan keadaan bobrok yang bertahun-tahun dialami. Kehidupan baru sebagai seorang pelacur tak menandaskan kebahagiaan sempurna.

Lelehan air mata mulai membual dari sumbernya. Ia sedih, menangis, dan menyesal. Martabatnya serempak menggeliat serasa diinjak-injak. Meski bau harum alami ramuan kraton mengoles kulitnya yang semakin halus mulus, ia tetap merasa terhina. Dalam gumpalan uang yang berserak-serak, batinnya tersiksa. Ia terkulai, lemas, dan kaku.

Di ujung kepedihan mendalam, ia mantap untuk pulang. Setelah kerja malam, ia melangkah kembali ke desanya. Dahulu berangkat dengan riang gembira menukil sejuta harapan, kini pulang dengan kaki gontai penuh gemetaran. Ia menatap pilu halaman rumahnya. Secercah muncul keheranan, lampu depan di beranda masih menyala. “Ada tamu rupanya?” pikirnya. Gagang pintu dipegang, wooow… tak terkunci. Namun, tidak ada tamu yang menyaru. Ia pun langsung mempercepat langkah menuju pintu kamar ibunya.

Pelan-pelan ia ketok-ketok pintu kamar itu. Secepatnya pintu terbuka. Gadis pun bertanya, “Ibu apakah ada tamu?” Jawab ibu dalam kekagetan itu, “Tidak ada tamu kok. Setiap hari memang begitu.”

“Kok pintu gerbang terbuka dan pintu rumah tidak dikunci? Lampu juga tetap bernyala, Bu?” tanyanya dengan nada sedikit tinggi. Ibu itu berkata dengan lembut, “Anakku… Sejak Engkau pergi dari rumah ini, pintu tidak pernah aku kunci. Lampu selalu bernyala pada malam hari. Karena ibu tahu, kapan saja Engkau mau kembali pintu itu tetap terbuka untukmu. Rumah ini tetap Engkau punya. Ibu tahu bagaimana dirimu di seberang sana. Namun, ibu tetap mencintai Engkau, apapun dan bagaimanapun Engkau. Masuklah anakku… Aku bahagia Engkau pulang!” Mereka kemudian berpelukan erat dan menangis haru.

SEJENAK MENGHIRUP NAPAS: Kalau manusia saja sudah demikian luar biasa, apalagi dengan Allah. Cinta-Nya tidak terduga oleh kita. Di sinilah termuat relasi cinta. Allah menyatakan cinta-Nya yang begitu besar. Allah hanya mau cinta, karena Dia sendiri adalah cinta. Allah tak memandang prestasi, jasa, atau setumpuk kebaikan. Allah tetap menerima kita, karena menghendaki, “Engkau harus hidup, berkembang, dan menjadi sempurna seperti diri-Ku.” Allah memerhatikan kita, sebab tidak berharap kematian kita, tetapi keselamatan kita. Untuk itu, kita pantas menyusuri hidup dalam kodrat hakiki. Dan dalam bertumbuh itu, ternyata Allah menolong. Di ujung perjuangan penuh keringat, Allah mengambil alih pekerjaan kita dan membawa kita ke ruang kelas yang berbeda.
Read more >>

PENGUASA ADALAH LONTE!

Karena rakyat hanyalah

asesoris atau budak pelengkap

hasrat seketika bagi mereka

yg sok bergelar abdi negara…

mereka memperbodoh, memperbudak

dan menghisap darah segarmu

dengan umpan mimpi2 palsu…

Perasan keringat darahmu

mereka anggap sekedar kewajiban

sebagai silih kebodohan, kepatuhan dan kepasrahanmu!

Daya pikatmu yg menggairahkan mereka,

hanya muncul saat ada persaingan di

antara mereka sendiri..!

mereka senantiasa benar

dan kalian, rakyat…

harus selalu mudah dipersalahkan

Ideologi PANCASILA, KAPITALIS, DEMOKRASI tak pernah dapat

Membebaskan kalian..

Karena Ideologi ini adalah

bagian dari strategi mereka

Agar kalian tetap menjadi

Sapi perah yang patuh

dan mudah dikendalikan

Saat kalian frustrasi dan STRESS!

Hukum pun hanya berlaku

ketat bagi kalian,

karena hukum dapat segera mengenyal

dihadapan Kuasa (uang, jabatan, gelar, dlll) !

Jadi lantang dan Triakan REVOLUSI untuk ISLAM !

Karena hanya dengan REVOLUSI ISLAM dan SYARIAT lah

Eksistensimu terakui….!
Read more >>

Pujian adalah Madu yang Menyegarkan dan Juga Racun yang Mematikan!!!

Saat perjalanan pulang dengan berjalan kaki, saya melewati sekelompok gadis yang sedang duduk di depan kontrakannya, saya tertunduk malu dan mempercepat langkah. Sekilas saya mendengar ada yang berkata,”Wah, ganteng juga nih cowok dan cool banget!”
Sambil menggoda.

Saya semakin grogi dan mempercepat langkah, agar bisa cepat-cepat menjauh. Tapi sebenarnya dalam hati saya berbunga-bunga dan pikiran saya melambung tinggi mendengar perkataan itu.

Sesampai di rumah, tanpa malu-malu saya berdiri tegak di depan cermin sambil tersenyum sendiri menatap wajah saya dan enggan beranjak. “Saya memang ganteng kok!”
Seharian saya memikirkan diri sendiri dan tersenyum tiada habisnya.

Itu kejadian saat saya masih muda dulu dan itu hanya sekadar contoh bahwa setiap manusia pada dasarnya memang senang dipuji.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa ia tidak butuh pujian, mungkin sedang ada masalah kejiwaan atau memang sudah mencapai kesadaran tingkat tinggi.

Hanya manusia yang telah mencapai kesadaran tinggi yang tidak terpengaruh oleh pujian.

Khususnya dalam bidang kepenulisan, mungkin seringkali kita menerima pujian dari para sahabat. Baik pujian yang tulus maupun sekadar basa-basi.

Tak sedikit karena pujian ini, secara sadar membuat kita semakin bergairah untuk terus menulis. Pujian yang datang bagaikan madu yang begitu menyegarkan dan memberikan energi untuk melahirkan ide dan menguatkan jemari kita untuk terus menari-nari membentuk kata demi kata.

Oleh karena pujian yang datang dari sana-sini semangat kita menjadi berlipat-lipat untuk terus menulis dan semakin berusaha lebih baik lagi.

Pujian benar-benar bagaikan minuman berenergi yang segera dapat menambah gairah. Karena itu, jangan segan-segan memberikan pujian kepada seorang teman secara tulus dan proposional.

Namun sebaliknya, tak jarang pujian bisa melenakan bagaikan racun yang mematikan. Oleh karena pujian kita menjadi puas dan berbangga diri. Kemudian terjebak dalam keangkuhan.

“Tuh, kan. Kata orang-orang tulisan saya bagus! Hanya kamu aja yang bilang gak bagus, dasar payah!”

Begitu selalu kita membanggakannya dan enggan menerima bila ada yang memberikan kritikan, sehingga kita enggan untuk belajar dan meningkatkan kemampuan. Karena kita merasa sudah hebat dalam pujian-pujian.

Selanjutnya kita enggan menerima kritikan dan selalu mengharapkan pujian. Walaupun pujian yang ada hanyalah pujian palsu.

Ketika kita menyadari, ternyata tulisan kita tidak sebagus yang dipuji orang, yang ada kemudian adalah kemarahan dan menyalahkan orang lain. Bisa ditebak apa yang terjadi kemudian.
Berhenti menulis!
Read more >>

Dari Kecil, Orang Tua Mengajariku Jadi Kapitalis

Anak bertumbuh dalam jahiliyah modern

Tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional di Indonesia, maka berbahagialah anak-anak Indonesia. Semoga kelak engkau ‘meninju congkaknya dunia’ kata Iwan Fals dalam lagunya. Bait lagu menjadi ungkapan yang menunjukkan perasaan dongkol terhadap hidup di dunia yang semakin matre. Anak-anak tengah tumbuh berkembang dalam zaman jahiliyah modern, dengan disajikan berbagai fenomena, individualis, kompetisi dan pengumpulan harta. Anak-anak menjadi sangat rentan dengan kapitalisme tanpa pernah lagi merasakan indahnya masa kanak-kanak. Neil Postman mengatakan ‘tanpa rahasia, tentu saja, tidak ada masa kanak-kanak.’

Kerentanan anak-anak terjangkit oleh kerakusan kapitalisme datang dari berbagai penjuru. Tri Guntur Narwaya menganggap bahwa anak-anak tak hanya karena berpeluang dijadikan ’lahan konsumen’ pasar yang paling menguntungkan, tetapi kemungkinan jatuh menjadi komoditas yang menjanjikan. Akal budi kesadaran yang masih dalam fase transisi perkembangan sangat memungkinkan segala apa yang ’manipulatif’ dimaknai menjadi apa yang ’real dan benar’. Masa hidup yang masih membutuhkan pencarian-pencarian dasar tentang nilai-nilai hidup sangat rentan untuk mengalami kooptasi dan virus cara berpikir yang salah. Akal budi masih belum maksimal hadir seperti kebanyakan mereka yang sudah masuk dalam tahap perkembangan kedewasan bernalar dan berpikir. Sang anak tentu tidak akan cukup dalam untuk bisa menangkap atau bahkan membaca apa yang hadir di balik yang nampak secara indrawi. Akal budi masih terbatas pada bentuk-bentuk peniruan dan ketergantungan pada dunia di luarnya termasuk dalam hal ini determinasi orang tua.

Internalisasi ideologi kapitalisme dalam anak

Dalam dunia pendidikan, anak-anak ditanamkam pemahaman-pemahaman kapitalistik. Mereka diajari mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia yang terbagi dalam kebutuhan primer dan sekunder berupa hal-hal material. Pemahaman itu membangun pondasi berpikir untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya materialis tanpa memperhatikan perbaikan moral. Sebuah diskursus perusakan moral dari dunia pendidikan. Hal ini juga tercermin dalam pemilihan jurusan-jurusan dalam perguruan tinggi, di mana ilmu praksis dan gampang diterima dalam dunia kerja menjadi jurusan favorit, termasuk dalam hal ini adalah juran akuntansi. Sehingga tidaklah mengherankan ketika orang tua menyuruh anak-anaknya agar bersekolah demi memperoleh pekerjaan. Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi adalah diskursus ‘sukses tanpa gelar atau sukses tanpa sekolah.’ Hal ini membuat orang tua mengajari anaknya bahwa daripada sekolah lebih baik langsung mengumpulkan harta untuk sukses.

Bukan hanya anak yang akan membentuk dirinya dan membentuk dunianya, tetapi juga dibentuk oleh orang tua dan lingkungannya. Lingkungan saat ini penuh kontradiksi yang tengah mengancam anak-anak dan juga mengancam kemanusiaan. Indonesia berada dalam mata rantai kapitalisme global yang lemah dan terbelakang, seringkali hanya menjadi sasaran modal asing (kapitalis) yang ingin mencari keuntungan di negeri kita yang kaya raya. Kapitalisme begitu kuat mencengkram Indonesi hingga tak sejengkal dan seinci pun tubuh manusia yang bisa terhindar dari jamahan kapitalisme. Dapat pula dikatakan bahwa apa saja yang dimakan, diminum, dipakai, ditonton, dinikmati adalah produk kapitalisme. Orang tua pun menjadikannya sebagai sajian sehari-hari dengan mengahadirkan televisi hingga ke kamar tidur yang menjadi corong kapitalisme untuk ‘meninabobokkan’ anak dengan rayuan produk dan ideologinya.

Harapan terhadap orang tua

Benteng orang tua sebagai penjaga dan pembentuk nilai menjadi sangat penting, meskipun banyak hal pula justru dengan menjalarnya nalar kapitalistik yang juga sudah membudaya di orang tua maka peran itu semakin hilang dan banyak hal pula justru orang tua sendiri yang menjadi agen pembantu kebertemuan antara hasrat kapitalis di satu sisi dengan hasrat anak di sisi yang lain. Inilah masalah serius yang dihadapi oleh keluarga dan terutama anak-anak saat ini.

http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/23/dari-kecil-orang-tua-mengajariku-jadi-kapitalis/
Read more >>